Arsip

Mereformasi Kristologi

Mereformasi Kristologi: Dia Tidak Mati untuk Dosa-Dosaku
                  Oleh: Uskup John S. Spong
             (Uskup Episkopal dari Newark, A.S.)


"Paham kayu salib sebagai pengorbanan bagi dosa-dosa dunia adalah ide barbar yang didasarkan pada suatu
konsep  primitif  tentang  Tuhan  yang  harus  ditolak." [1]     

Pada bulan Mei  1998,  ketika  saya  menayangkan di  Internet Duabelas Tesis  untuk diperdebatkan, yang diambil dari buku saya "Why Christianity Must Change or Die", saya tidak mengira betapa hebat responsnya. Perdebatan itu disambut dan dikutuk, diikuti dan dihindari oleh orang tak terhitung  banyaknya. Tesis-tesis itu dikhotbahkan secara positif dan secara negatif di  keuskupan  ini,  di  Katedral  St.  Paul  di  London, di Australia, Kanada, Afrika Selatan dan Selandia Baru. Respons paling emosional adalah terhadap Tesis  No.6,  yang  berkaitan dengan  penafsiran terhadap kayu salib dan peranan Yesus dalam drama  keselamatan,  yang di situ saya mempertanyakan keadekuatan kalimat: "Yesus mati untuk dosa-dosaku."

Kalimat  itu  begitu  sering digunakan dalam sejarah Kristiani sehingga  menjadi seperti  mantra.  Maksudnya, diulang-ulang tanpa  penjelasan,  seolah-olah maknanya  sudah  jelas dengan sendirinya.  Tidak boleh  dipertanyakan atau diperdebatkan. Sekadar   dikemukakan  berulang-ulang  tanpa  henti.  Perayaan Ekaristi didasarkan  padanya;  banyak lagu-lagu pujian  kita mencerminkannya. Namun, bagi  alam  pikiran  modern,  jika dianalisis, kalimat ini hampir tidak ada artinya sama  sekali. Kadang-kadang kalimat  keramat  ini diperluas hingga mencakup apa yang hanya dapat digambarkan  sebagai fetisisme terhadap darah yang ditumpahkan Yesus di kayu salib.

Kuasa yang luar biasa telah dikenakan kepada darah "suci" itu. Orang  Kristen  sampai  bicara  tentang  efek  penyucian  dari siraman darah itu. Sebuah lagu pujian yang saya alami dua kali selama Minggu Suci menyatakan "God on Thee Has  Bled"  ["Tuhan Menumpahkan Darah Atasmu"]. Kematian Yesus dikatakan merupakan sesuatu yang dituntut oleh Tuhan: suatu tebusan, suatu kurban yang  dipanjatkan kepada Tuhan, suatu pembayaran yang dituntut oleh Tuhan bagi dosa-dosa  dunia, harga  yang  harus dibayar untuk memperoleh  penebusan,  yang  adalah pengalaman bersatudengan Tuhan. 

Dalam penelitian saya, saya  menyimpulkan  bahwa bahasa  ini  --"Yesus mati demi dosa-dosaku"-- adalah distorsi penuh-kekerasan dari makna Yesus. Paham itu memberikan  kepada saya suatu Tuhan yang  sadistis dan haus darah. Suatu Tuhan yang kehendaknya harus  dipenuhi  dengan  pengurbanan  manusia bukanlah Tuhan yang kepadanya hati saya tergerak untuk memuja. Itu paham yang sangat  buruk.  Lagipula,  konsep  ini  menjadi begitu normatif di dalam pengajaran iman kita, sehingga banyak orang merasa, jika paham tentang "karya penebusan" Yesus ini tidak diterima,  maka  tidak ada lagi  yang  tersisa dari Kristianitas.

Namun, saya yakin, justru kebalikannya yang benar.  Bagi  saya jelas,  kalau  kita  tidak  mengekspos  kualitas  barbar  dari tafsiran kuno terhadap makna kematian Yesus dan terhadap Tuhan yang dikatakan   menuntutnya,   dan  menghapuskan  keburukan spiritual   ini   dari   kehidupan    Judeo-Kristiani,    maka
Kristianitas  tidak  punya  masa  depan.  Saya  tidak percaya, manusia  modern  akan  tertarik  kepada  suatu  Tuhan  yang kehendaknya harus dipenuhi dengan kurban manusia Yesus di kayu salib. Jika Kristianitas menuntut paham tentang makna kematian Yesus ini, saya tidak akan menganut iman ini lagi.

Tetapi oleh karena  sifatnya  yang   telah   tertanam   secara   mendalam,perlawanan  pasif  saja  tidak pernah akan efektif. Alih-alih, ide ini harus ditumbangkan secara agresif; kalau tidak,  tidak akan ada sesuatu  yang  baru  dan  lebih menarik akan pernah muncul. Itulah sebabnya, saya rasa Gereja Kristen pada  dewasa ini membutuhkan suatu reformasi yang baru dan kuat yang tidak boleh berhenti sampai semua doktrin inti yang  paling  dasar dari  iman  Kristiani  dikaji  ulang  dan  dirumuskan kembali.

Reformasi pada abad ke-16 tidak sampai  pada  tugas  ini,  dan secara  retrospektif,   hanya  membuat   perubahan-perubahan kosmetik  belaka.  Reformasi baru ini  harus  mengguncangkan dasar-dasar pemikiran Kristiani itu sendiri. Mau tidak mau hal itu akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan besar di kalangan
religius  konservatif, dan akan menimbulkan amarah yang selalu muncul bila suatu ancaman terakhir dilancarkan terhadap suatu sistem  kepercayaan  yang sedang sekarat. Tetapi bagaimana pun juga kita  harus menyambutnya,   karena   ia   menyajikan satu-satunya  kesempatan  bagi  iman  nenek-moyang  kita untuk
tetap hidup menjadi iman anak-cucu kita.

Paham tentang kematian Yesus  sebagai  kurban  bagi  dosa-dosa dunia, menurut  pendapat  saya,  mewakili teologi keliru yang didesain  untuk  mengakomodasikan  antropologi  keliru  yang  menjadi  dasarnya.   Kehidupan  manusia  bukanlah  diciptakan sebagai sesuatu yang baik yang kemudian jatuh ke  dalam  dosa,
dan  mengharuskan penyelamatan  ilahi yang berpuncak di kayu salib di Kalvari, sebagaimana dikemukakan oleh mitos Kristiani tradisional.  Alih-alih,  kehidupan  manusia  telah berkembang melalui jutaan tahun  sejarah  evolusioner,  yang  tidak  saja menghasilkan   manusia  yang  tidak  lengkap,  melainkan  juga
terdistorsi  oleh   perjuangan   untuk   mempertahankan  diri [survival].  

Kita  bukanlah  malaikat yang  jatuh,  melainkan makhluk yang muncul dan berkembang. Kitaadalah suatu  karya yang  tengah  berlangsung,  yang  terus-menerus menjadi korbanhakikat kemanusiaan kita yang belum tuntas. Oleh  karena  itu, kita  tidak  dapat  diselamatkan  dengan suatu kurban kematian dari seorang  yang  memanjatkan  persembahan  sempurna  kepada suatu   Ilah   yang   marah,   kurban   yang   didesain  untuk
mengembalikan kita  kepada  sesuatu  yang  tidak  pernah  kita alami.  

Alih-alih,  kita  harus  terpanggil  oleh rahmat cinta untuk berjalan menuju  taraf  kesadaran  lebih  tinggi,  suatu kemanusiaan  yang  baru  dan lebih lengkap. Sosok Juru Selamat bagi kita tidak mungkin seorang yang membayar harga  dosa-dosa kehidupan  kita.  Alih-alih, sosok Juru Selamat bagi pemahaman kita atas  kemanusiaan  haruslah  seorang  yang   mampu  memberdayakan  kita  untuk  berkembang  mengatasi keterbatasan diri kita, untuk  membebaskan  diri  dari  ketakutan-ketakutan yang   mendistorsikan,  dari   prejudis-prejudis   kita  yang membutakan dan stereotipe-stereotipe kita yang mematikan,  dan membawa  kita  ke  suatu  tempat  yang  di situ kita menemukan kemerdekaan untuk memberikan hidup  kita  dalam  cinta  kepada orang   lain.  

Pertanyaan  teologis terakhir  yang mendorong reformasi baru ini adalah:apakah kita mampu menanggalkan dari Yesus penjelasan interpretatif tradisionalnya tanpa menghilangkan pengalaman yang dimiliki manusia  tentang  Yesus ini,  yang  membuat mereka berseru bahwa di dalam dia kesucian Tuhan telah dialami.

Untuk  melakukan  ini,  kita  harus  mengesampingkan  kerangka mitologis yang telah memerangkap Yesus. Kelahiran dari perawan dan kenaikan  kosmik  harus  dilihat  sebagai  sekadar bahasa interpretatif  pra-modern.  Berjalan di  atas air dan memberi makan 5000 orang  dengan  lima potong roti tidak  mungkin merupakan  kisah  nyata.  Kebangkitan  kembali  yang  dipahami sebagai resusitasi fisikal harus dilihat sebagai tradisi  yang berkembang  belakangan.  Tetapi  sekali kerangka mitologis ini dihilangkan, Yesus tidak lenyap atau menjadi sekadar guru yang baik,  seperti  yang  ditakutkan oleh banyak orang. 

Alih-alih, malah muncul suatu sosok Yesus sebagai  saluran  transendensi, sosok  manusia  yang  menyatu  dengan sumber hidup, pengungkap sumber  cinta,  suatu  makhluk  baru  yang  membuat gamblang
Landasan Semua Keberadaan [The Ground of All Being]. Ia adala suatu kehadiran Ilahi, bukan  suatu  manusia-ilahi  mitologis; suatu  manusia  yang  lengkap,  yang  menjadi  kehidupan  yang melaluinya kuasa  sepenuhnya  dari  realitas  keilahian  Tuhan dapat muncul dalam sejarah manusia.

Alih-alih  melihat  kepada  mukjizat-mukjizat yang ditafsirkan secara harfiah, kita harus mulai melihat kepada sosok  manusia yang  keutuhannya  memanggil  murid-muridnya  untuk  melampaui batas-batas identitas  kesukuan  mereka.  Orang  Yahudi,  yang berpikir   bahwa  orang  non-Yahudi  [Gentiles]  tidak  pantas dianggap sebagai manusia yang  boleh  diakrabi  dalam  relasi, didorong  oleh  kenyataan  sosok  Yesus  untuk  pergi ke dunia non-Yahudi  itu   untuk   memberitakan   Injil,   dan   mereka melakukannya.  

Kaum agama  yang  ketat yang yakin bahwa kaum Samaritan, yang menjadi sasaran prejudis mereka, ditolak oleh Tuhan  dan  oleh karena itu pantas ditolak oleh mereka, diubah oleh Yesus. Ia mengajarkan  kepada  mereka,  bahwa  bila  kaum Samaritan  memenuhi  panggilan  Taurat  untuk memberikan kasih sayang dan mempedulikan orang, mereka adalah anak-anak Ibrahim yang  lebih  sempurna  daripada seorang ahli agama dan seorang Levi yang tega untuk melewati korban kehidupan di sisi  jalan. Orang  yang berpegang teguh pada aturan-aturan mana yang halal dan mana yang haram harus berhadapan dengan Yesus yang memeluk
penderita  kusta,  membiarkan  sentuhan  perempuan yang sedang haid, dan menolak menghakimi orang yang dituduh berzina.

Tuhan memang ada di dalam diri Kristus ini. Itulah  pengalaman yang menyeruak dan perlu dijelaskan. Namun penjelasan historis telah dikemas dalam asumsi-asumsi yang tidak  lagi  bisa  kita terima. 
Asumsi-asumsi ini dibentuk oleh suatu pandangan-dunia yang tidak lagi kita anut. Mereka mencerminkan pemahaman  akan realitas  yang  tidak  lagi  kita  miliki  dan  suatu  tradisi pemujaan yang asing bagi tradisi kita sendiri.

Orang Kristen-Yahudi  abad  pertama  memahami  kematian  Yesus menurut analogi domba Paskah, yang disembelih untuk mematahkan kuasa maut. Kemudian mereka memahami dia  sebagai  domba  baru dari Yom  Kippur,  yang  dikurbankan  untuk menebus dosa-dosa dunia.  Mereka  menganyam di seputar   Yesus simbol-simbol liturgis  kuno,  tetapi  tidak satu pun dari simbol-simbol ini akan efektif bagi kita.  

Sebaliknya,  mereka  malah  mendorong orang  untuk menjauh. Oleh karena itu, kita harus bersiap-siap untuk  mengesampingkannya,  untuk   memperlakukannya   sebagai terbatas,  dan  yang  pada  akhirnya  malah menyesatkan. Yesus tidak mati untuk  dosa-dosa  kita!  Yesus  bukan  kurban  yang dipanjatkan  kepada Tuhan untuk mengatasi kejatuhan yang tidak pernah terjadi.

Kita adalah makhluk yang muncul naik ke  atas, bukan  makhluk yang jatuh.Yesus  bukan  perwujudan  dari ilah teistik yang mengunjungi planit ini dengan menyaru sebagai  manusia  selama 30  tahun.  Yesus  adalah manusia, yang di dalamnya Tuhan yang bersemayam di lubuk  dasar  kehidupan,  muncul  dalam  sejarah manusia dengan cara baru yang dramatis dan lengkap. Tugas bagi reformasi baru adalah membebaskan Yesus dari bahan-bahan  yang mendistorsikan    ini   dan   menampilkannya   kembali   dalam
gambaran-gambaran baru. Tetapi  kita  tidak  boleh  kehilangan pengalaman  ini.  Tuhan  ada di dalam Kristus. Kuasa kehidupan yang transenden, pancuran cinta  yang  abadi,  

Landasan  Semua Keberadaan  [Ground  of  All  Being]  yang tak terperikan yang meletup dalam  kemanusiaannya  yang  utuh  dan  merdeka  untuk memanggil  kita  ke  dalam  suatu  kesadaran  baru.  Panggilan Kristus adalah panggilan untuk berjalan mengatasi keterbatasan evolusioner  yang  ditetapkan  oleh upaya untuk mempertahankan diri. Roh Kudus Tuhan yang  secara  mencolok  hadir  di  dalam Yesus --sehingga    orang   bilang   Roh   Kudus-lah   yang mengandungnya--   tetap   merupakan   rahmatnya   bagi  kita masing-masing.

Kita  yang  ada  di  dalam  Kristus  dapat --seperti Kristus-- menjadi  pendukung  Tuhan  di  lingkungan   kita,   inkarnasi- inkarnasi  baru  dari  kehadiran  ilahi yang abadi. Kita dapat mengungkapkan sumber hidup dan cinta, yang memanggil kita  dan orang  lain  ke  dalam kepenuhan keberadaan kita. Inilah jalan yang melaluinya kita bisa bicara tentang Kristus  dalam  zaman kita,  dan  kemarilah reformasi yang akan datang dapat membawa kita.  

Bagi  Gereja  Kristen,  melekat  pada   rumusan-rumusan harfiah  dari  masa  lampau berarti tidak kurang dari menempuh jalan kematian. Melepaskan rumusan-rumusan itu untuk  memasuki pengalaman  Kristus secara  baru  adalah  harapan  untuk masa depan.

Saya  berdoa  untuk  tibanya  reformasi  ini,  sekalipun  saya menyadari  bahwa  bagi  banyak  orang  ini akan tampak sebagai penghancuran apa yang mereka  pikir  sebagai  iman  Kristiani.
Kita  tidak  boleh takut akan itu, oleh karena ia akan membawa kita kepada pembaruan dan kebangkitan kembali dan memberi kita kemampuan   untuk  menyanyikan  kidung  Tuhan  dalam  milenium ketiga.***